Puisi


(Chairil Anwar)

PRAJURIT JAGA MALAM
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu……
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !

HAMPA
kepada sri
Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti

SAJAK PUTIH
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah 

YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS
kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku

(Sapardi Djoko Damono)
Aku Ingin
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.
Pada Suatu Hari Nanti
Pada suatu hari nanti,
Jasadku tak akan ada lagi,
Tapi dalam bait-bait sajak ini,
Kau tak akan kurelakan sendiri.

Pada suatu hari nanti,
Suaraku tak terdengar lagi,
Tapi di antara larik-larik sajak ini.

Kau akan tetap kusiasati,
Pada suatu hari nanti,
Impianku pun tak dikenal lagi,
Namun di sela-sela huruf sajak ini,
Kau tak akan letih-letihnya kucari.
Sihir Hujan
Hujan mengenal baik pohon, jalan, dan selokan
-- swaranya bisa dibeda-bedakan;
kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu dan jendela.
Meskipun sudah kau matikan lampu.

Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh di pohon, jalan, dan selokan
- - menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh
waktu menangkap wahyu yang harus kaurahasiakan.



(Taufik Ismail)
Syair Orang Lapar

Lapar menyerang desaku
Kentang dipanggang kemarau
Surat orang kampungku
Kuguratkan kertas
Risau
Lapar lautan pidato
Ranah dipanggang kemarau
Ketika berduyun mengemis
Kesinikan hatimu
Kuiris
Lapar di Gunungkidul
Mayat dipanggang kemarau
Berjajar masuk kubur
Kauulang jua
Kalau.
Karangan Bunga

Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke salemba
Sore itu.

Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang ditembak mati
Siang tadi.
Salemba

Alma Mater, janganlah bersedih
Bila arakan ini bergerak pelahan
Menuju pemakaman
Siang ini.

Anakmu yang berani
Telah tersungkur ke bumi
Ketika melawan tirani.

Memang Selalu Demikian, Hadi

Setiap perjuangan selalu melahirkan
Sejumlah pengkhianat dan para penjilat
Jangan kau gusar, Hadi.

Setiap perjuangan selalu menghadapkan kita
Pada kaum yang bimbang menghadapi gelombang
Jangan kau kecewa, Hadi.

Setiap perjuangan yang akan menang
Selalu mendatangkan pahlawan jadi-jadian
Dan para jagoan kesiangan.

Memang demikianlah halnya, Hadi.
Nasehat-Nasehat Kecil Orang Tua
Pada Anaknya Berangkat Dewasa

Jika adalah yang harus kaulakukan
Ialah menyampaikan kebenaran
Jika adalah yang tidak bisa dijual-belikan
Ialah ang bernama keyakinan
Jika adalah yang harus kau tumbangkan
Ialah segala pohon-pohon kezaliman
Jika adalah orang yang harus kauagungkan
Ialah hanya Rasul Tuhan
Jika adalah kesempatan memilih mati
Ialah syahid di jalan Ilahi.
(Amir Hamzah)
Memuji Dikau

Kalau aku memuji Dikau,
Dengan mulut tertutup, mata tertutup,
Sujudlah segalaku, diam terbelam,
Di dalam kalam asmara raya.
Turun kekasihmu,
Mendapatkan daku duduk bersepi, sunyi sendiri.
Dikucupnya bibirku, dipautnya bahuku,
Digantunginya leherku, hasratkan suara sayang semata.
Selagi hati bernyanyi, sepanjang sujud semua segala,
Bertindih ia pada pahaku, meminum ia akan suaraku …
Dan, iapun melayang pulang,
Semata cahaya,
Lidah api dilingkung kaca,
Menuju restu, sempana sentosa.
Doa

Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?
Dengan senja samar sepoi,
Pada masa purnama meningkat naik,
Setelah menghalaukan panas terik.
Angin malam menghembus lemah,
Menyejuk badan, melambung rasa menanyang pikir,
Membawa angan ke bawah kursimu
Hatiku terang menerima katamu,
Bagai bintang memasang lilinnya.
Kalbuku terbuka menunggu kasihmu,
Bagai sedap-malam menyirak kelopak.
Aduh kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku
Dengan cahayamu, biar bersinar mataku sendu,
Biar berbinar gelakku rayu!
Nyanyian Jallaludin El Rumi

Jangan disalahkan dunia karena belenggumu,
Sebab banyakan mawar dari duri.
Jangan disebutkan dunia ini penjara,
Karena inginmu itulah yang membangunkan duka.
Jangan pula tanyakan penghabisan rahasia,
Satu dalam dua, atau baik, tau jahat!
Usaha pula katakan kasih meninggalkan tuan,
Jangan ia dicari di pekan dan jalan!
Ta’ guna takutkan siksa mati,
Sebab takut itulah mendatangkan sengsara,
Janganlah buru kijang cita indria,
Kalau terburu singa sesalan.
Jangan hatiku, mengekang diri,
Jadi ta’ usah malaikat menolong engkau.
(Tengsoe Tjahjono)
HANYA HUJAN

suara yang mengeras di luar jendela. membeku
Selaput jala matamu mengabur menangkap senja pekat
ada hari yang lenyap
pada detik asing oleh alpa abadi

"Masa depan itu punyamu, anakku!"
Kalimat-kalimat usang dari orang-orang tua sepertiku
apa artinya? Hidup adalah gasing
berputar dan terbanting
mengapung pada parit busuk dan waktu yang lenyap selalu

suara yang mengeras di luar jendela, kenapa tak
sampai ke hatimu, padahal kupingku selalu teriris
oleh kebenaran yang dipupukkan

Miris aku mengeja!
AYO

bacalah kitab yang terbuka di hadapanmu, anakku
wajahmu tua, pucat pasi, lunglai
Itu ada saatnya, ketika matahari tak lagi jadi punyamu
dan jalan tinggal sepotong mengantarkanmu ke labirin sepi

bacalah sekali lagi, atau berulang kali
lalu format di jiwamu langkah kerucut menuju sudut
agar hujan kemarin tidak melahirkan badai
tapi sungai yang menjulur ke muara
: simfoni dalam balkon orkestra
KWATREN JEMARI

hanya jemari yang setia menghitung
tanda arang pada dinding
seperti sejarah yang hilang
catatan yang terus terbuka menanti kaubaca
MEMBACA WAKTU

memulai dari mana. kelenjar itu tak berwarna
tanda-tanda yang biasa dibaca
mengabut-menjelaga

langkah siapa berhenti dekat pintu
untuk membuka zaman yang tiada
daun kemboja berguguran tanpa bunga
lembut oleh lumut dan debu
"Tuhan, tak pantas aku cemburu pada-Mu"

lalu bersijingkat, seakan masih kemarin
padahal waktu sudah seribu tahun terkubur
tangan masih sepi oleh keringat dan luka
ah, tanpa bencana?

dan pintu
tak bisa menunjukkan waktu
padamu
(Dewi Lestari)
Cinta Semua Saat
Wajah telaga tidak pernah berdusta,
Ia bergetar saat udara halus menyapu mukanya
Ia beriak saat angin lincah mengajaknya menari
Ia tak menghindar dari undangan alam tempatnya menghampar,
Menghadap awan yang menunggu sabar
Dini hari datang untuk keduanya bersentuhan

Wajah telaga tidak pernah menyangkal,
Ia membeku saat langit memecah menjadi miliaran kristal putih
Ia mencair saat matahari kembali di angkasa tanpa serpih
Ia tak bersembunyi dari perubahan dan gejolak hati,
Menanti awan yang berubah tak pasti
Hingga pagi datang dan keduanya berpulang pada kejujuran

Izinkan wajahku menjadi wajah telaga
Merona saat disulut cinta, menangis saat batin kehilangan kata
Memerah saat dihinggapi amarah, menggurat saat digores waktu
Izinkan wajahku bersuara apa adanya
Bagai telaga yang tak menolak lumut juga lumpur
Namun tetap indah dalam teguh dan ikhlasnya
Kepada udara, kepada surya, kepada alam raya
Menanti engkau yang melayang mencari arti hingga dini hari datang
Lalu kau luruh menjadi embun yang mengecupi halus wajahku
Saat engkau mencair menjadi aku dan aku hidup oleh sentuhanmu
Bersua tanpa balutan apa-apa

Saat semua cuma cinta
Cinta semua saat
Dan bukan lagi saat demi saat

Barangkali Cinta
Barangkali cinta… jika darahku mendesirkan gelombang yang tertangkap oleh darahmu dan engkau beriak karenanya. Darahku dan darahmu, terkunci dalam nadi yang berbeda, namun berpadu dalam badai yang sama.
Barangkali cinta… jika napasmu merambatkan api yang menjalar ke paru-paruku dan aku terbakar karenanya. Napasmu dan napasku, bangkit dari rongga dada yang berbeda, namun lebur dalam bara yang satu.
Barangkali cinta… jika ujung jemariku mengantar pesan yang menyebar ke seluruh sel kulitmu dan engkau memahamiku seketika. Kulitmu dan kulitku, membalut dua tubuh yang berbeda, namun berbagi bahasa yang serupa.
Barangkali cinta… jika tatap matamu membuka pintu menuju jiwa dan aku dapati rumah yang kucari. Matamu dan mataku, tersimpan dalam kelopak yang terpisah, namun bertemu dalam setapak yang searah.
Barangkali cinta… karena darahku, napasku, kulitku, dan tatap mataku, kehilangan semua makna dan gunanya jika tak ada engkau di seberang sana.
Barangkali cinta… karena darahmu, napasmu, kulitmu, dan tatap matamu, kehilangan semua perjalanan dan tujuan jika tak ada aku di seberang sini.
Pastilah cinta… yang punya cukup daya, hasrat, kelihaian, kecerdasan, dan kebijaksanaan untuk menghadirkan engkau, aku, ruang, waktu, dan menjembatani semuanya demi memahami dirinya sendiri.
IBU
Puisi Richard Fernando Putra Bela

Ibu kau mengandung 9 bulan
sampai engkau melahirkanku dengan susah paya
engkau merawatku sampai aku tumbuh besar
engkau juga merawatku tampa pamri
dan engkau juga merawatku dengan penuh kasih sayang

Ibu kau mengajariku berjalan sampai aku bisa berjalan
engkau juga mengajariku berbicara sampai aku bisa
Ibu kau bagaikan malaikatku
dikala aku sedih engkau selalu ada untuk menghiburku

Ibu.. aku juga merasa engkaulah pahlawanku
setiap aku kesusahan engkau selalu ada untuk membantuku
Ibu... bekerja keras
untuk menafkahiku
ibu... terima kasih atas pengorbananmu
yang engkau berikan kepada ku
Ibu...



(D. Zawawi Imron)
Teluk
Kaubakar gema di jantung waktu
Bibir pantai yang letih nyanyi
Sembuh oleh laut yang berloncatan
Memburu takdirmu yang menderu
Dan teluk ini
Yang tak berpenghuni kecuali gundah dan lampu
Memberangkatkan dahaga berlayar
Berkendara seribu pencalang
Ke arah airmata menjelma harimau
Pohon-pohon nyiur pun yakin
Janjimu akan tersemai
Dan di barat piramid jiwa
Berkat lambaian akan tegak mahligai senja
Senyum pun kekal dalamnya

Hanya Seutas Pamor Badik
Dalam tubuhku kau nyalakan dahaga hijau
Darah terbakar nyaris ke nyawa
Kucari hutan
Sambil berdayung di hati malam
Bintang-bintang mengantuk
Menunggu giliran matahari
Ketika kau tegak merintis pagi
Selaku musafir kucoba mengerti:
Ternyata aku bukan pengembara
Kata-kata dan peristiwa
Telah lebur pada makna
Dalam aroma rimba dan waktu
Hanya seutas pamor badik, tapi
Tak kunjung selesai dilayari

Sebuah Istana
Tepi jalan antara sorga dan neraka
Kumasuki sebuah istana
Tempat sejarah diperam
Menjadi darah dan gelombang
Lewat jendela sebelah kiri
Kulihat matahari menjulurkan lidah
Seperti anjing lapar
Aku makin tak’ ngerti
Mengapa orang-orang memukul-mukul perutnya
Jauh di batas gaib dan nyata
Kabut harimau menyembah cahaya
Kutarik napas dalam-dalam
Dan kupejamkan mata
Alangkah kecil dunia!

Zikir
Alif, alif, alif,!
Alifmu pedang di tanganku
Susuk di dagingku, kompas di hatiku
Alifmu tegak jadi cagak, meliut jadi belut
Hilang jadi angan, tinggal bekas menetaskan
Terang
Hingga aku
Berkesiur
Pada
Angin kecil
Takdir-Mu

Hompimpah hidupku, hompimpah matiku
Hompimpah nasibku, hompimpah, hompimpah
Hompimpah!
Kugali hatiku dengan linggis alifmu
Hingga lahir mataair, jadi sumur, jadi sungai,
Jadi laut, jadi samudra dengan sejuta gelombang
Mengerang menyebut alifmu
Alif, alif, alif!

Alifmu yg Satu
Tegak dimana-mana

Sajak Gamang
Dibiarkannya orang-orang merangkak
selarat kerbau menarik bajak
dibiarkannya cacing yang tak punya kuasa
kalau anak-anak menyanyi tentang daun-daun hijau
bagus, karena bapaknya parau bagai harimau
musik dan gamelan kadang bikin gamang
sungai dan hutan jangan diurus kancil atau siamang

(Hamid Jabbar)
DI TAMAN BUNGA, LUKA TERCINTA
Di taman bunga, cinta dan luka
mekar juga bersama. Para pelayat
melebur-cucurkan rindunya bersama
gaung serangga. Seperti berlagu

Kanak-kanak dari surga menyapa
embun dan kabut. Seperti malaikat
hinggap pada mainan kanak-kanak
di taman bunga, luka tercinta

Dan kau terbaring di sana, kekasih
di kelopak mimpi, kemanusiaan, masih…

LAPANGAN RUMPUT, SISA EMBUN DAN MASA KANAK-KANAK
Lapangan rumput, sisa embun dan masa kanak-
kanak menggelinding bagai bola, serangga tak
bernama, impian-impian dan entah apa-apa.
Menggelinding bagai bola, sebuah lomba tentang
bahagia, gol dan sukses, tetapi yang terjaring adalah
nasib dan bukan tidak apa-apa. Peluit tidak
berbunyi, aturan-aturan dibuat dan dimakan,
mengenyangkan isi kepala yang menggelinding dari
sudut ke sudut. Tendang dan kejar. Tendang dan
menggelepar. Batu dan kaca. Kaca dan mata. Pecah
dan luka. Menggelinding bagai bola, sebuah lomba
tentang bahagia, tetapi dunia jadi embun masa
kanak-kanak, rumputan dan serangga dan sejuta
suara warna-warna dan impian-impian
menggelembung jadi sesuatu yang bernama luka,
tetapi bahagia, bukan, bukan-bukan, ternyata kuda-
kuda memakan rumput dan meninggalkan embun
dalam ringkiknya.

“Hidup bung, merdeka atau mati…”
BANYAK ORANG MENANGIS KEKASIH
banyak orang menangis, kekasih, banyak orang
menangis sepanjang gang sepanjang hari-hari
menangis seperti ayam, di matamu, banyak orang
mengalir sepanjang lambai sepanjang sangsai
meleleh di pipimu, kekasih, di pipimu sayang
banyak orang dalam tangis rasa-tak-sampai
membadai

badai orang begitu perih menagis sepanjang gang
badai ayam begitu letih berkotek berkandang-
kandang
badai pipimu begitu pedih meraih sesayat terang
kekasih, sementara hanyalah ini: gerimis sunyi dan sekalah matamu dan eramlah telur
Columbusmu
benua sayang
surga yang hilang!

(Iwan Simatupang)
Potret

Di sudut kamar seorang dara
Tergantung potret serdadu senyum:
“Tunggu! Sepulangku, bahtera kita kayuh!
Di atasnya salib: Pahlawan kasih yang
belum jua pulang.

Kini dara sudah lama tak menunggu lagi.
Langkah-langkah pelan, yang biasa datang
Menjelang tengah malam dari kebun belakang
Bawa cium dan kembang –
Takkan lagi kunjung datang.


Di sudut kamar seorang dara
Tergantung potret serdadu senyum:
“Jangan tunggu! Aku bangkai dalam bingkai!
Di atasnya salib: Pahlawan kasih yang
masih jua belum pulang.

Kini dara sudah lama dalam biara.

Ballade Kucing dan Otolet

Di jalan ada bangke
Kucing digilas otolet

Darah
Ngeong tak sudah
Selebihnya:
Langit biru
Dan manusia buru-buru

Otolet makin rame
Di tuhan punya jalan

Bangke makin rata
Di aspal panas

Penumpang gigimas
Bercanda

Di Surga
Kucing pangku supir kaya
Dan cekik
Tuhan

Merah Jambu Di Melati
Kepada Sitor Situmorang

Ada darah tiris
Dari hati atas melati
Satu satu

Ada melati tumbuh
Diciuman segara dengan gurun
Jauh jauh

Darah beku
Melati layu
Tapal sayu

Ada murai atas cactus
Ada cactus dalam hati
Ada kicau berduri

Sunyi sunyi

Bintang tak Bermalam
(nocturne untuk Nany Jasodiningrat)

Bertengger atas risau lembayung
Bintang tak tahu
Ke mana pijar hendak dipenjar

(Siang telah reguk segala warna
Bahkan kelam
Tak lagi bagi malam)

Dan pada pelangi
(Yang hanya di siang)
Tak ada berwakil

Warna bintang jatuh

Pengakuan

Aku ingin memberi pengakuan:

Bulan yang gerhana esok malam
telah kutukar pagi ini
dengan wajah terlalu bersegi
pada kaca yang retak oleh
tengadah derita kepada esok

Kulecut hari berbusa merah

Jambangan di depan jendela terbuka
menyiram kesegaran pagi dengan
pengakuan:

esok adalah bulan purnama

3/4

langit selalu biru cerah
bila dadaku pecah
dan hatiku hitam

angin yang kupatah-patah
sampai tigatiga-perempat
ke sudut diriku
dan bertanya di mana aku mungkin
bertemu

langit selalu biru cerah
bila dadaku pecah
bulan sabit hitam
membenam aku dalam aku
yang patah-patah
tigatiga-perempat

KEPADA ADIK-ADIKKU
Karya : Arifin C. Noor

Adik-adikku yang manis
janganlah bertanya kemana ibu pergi
sebab ibu tak pernah pergi
dari rumah kita

Adik-adikku yang manis,
ibu akan selalu bersama kita
tidur dalam satu ranjang dalam satu pelukan
dalam dongeng-dongeng yang menyenangkan
tentang suara

Adik-adikku yang manis,
janganlah kalian menangis
tak adalah yang patut ditangisi selain dosa-dosa kita
adapun ibu tak akan pernah pergi
dari hati kita
Bersyukurlah kita sebab kita akan selalu mengenangnya

Adik-adikku yang manis,
potret yang terbaik, potret yang tercantik
adalah yang tersimpan dalam hati kita
“Terima kasih, Tuhan”
Ucapkanlah kalimat itu, sayang,
sebab pada hari ini Tuhan telah selesai membangun rumah terindah
buat ibu
dan kita
Amien.

Perempuan Itu Adalah Ibuku - Arifin C. Noer

Perempuan yang bernama kesabaran
pabila malam menutup pintu - pintu rumah
masih saja ia duduk menjaga
anak - anak yang sedang gelisah dalam tidurnya

Perempuan itu adalah ibuku

Perempuan yang menangguhkan segalanya
bagi impian - impian yang mendatang. Telah
          memaafkan
setiap dosa dan kenakalan
anak - anak sepanjang zaman

Perempuan itu adalah ibuku

Bagi siapa Tuhan menerbitkan
matahari surga. Bagi siapa Tuhan memberikan
singgasanaNya. Dan dengan segala ketulusan
ia membasuh setiap niat busuk anak - anaknya

Dia adalah ibu
(Mardi Luhung)
PULAU

Pulau kita tak keliru. Tapi, memang terlalu cantik.
Padahal kita tak butuh kecantikan. Apalagi untuk
sebuah ketenggelaman yang akan tiba. Ketenggelaman
yang seluruh dirinya dibungkus asap dan kabut.

Yang cuma matanya saja menyala. Dan dengusnya
pernah mengisi setiap relung-lubang. Saat kita
yang telanjang mengingati kelalaian yang sering
merangsek. Sambil membidik bagian-tepi-pelipis.

Agar dapat mengusir si pengelabu. Memang pulau
kita tak keliru. Tapi, karena terlalu cantik, maka
banyak yang menyuntingnya. Dan banyak pula yang
akan menukarnya dengan puisi atau kembang.

Yang kelak akan berkhianat, atau menyingkap
pakaian kita di malam yang dingin. Agar kita
mematung di dermaga itu. Sambil menunjuk-nunjuk
jejak pesawat di angkasa yang memberat.

Yang pernah menyelinap di selimut-masa-kanak-kita.
Dan menidurkan kita seperti si waktu-apung.
Si waktu-apung yang selalu menjulurkan tangannya.
Untuk merapikan pulau kita. Pulau kita yang beda.

Memang, pulau kita tak keliru. Dan kita, kadang
ada baiknya membuka seluruh daya-peluk-lekuk. Dan
memahami, jika esok ketenggelaman itu tiba sudah,
tak ada yang boleh menyebut pulau kita sembarangan!

1 komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
Ditta Anastasia Q P Gresik, 5 Juni Selamat Datang dan Selamat Membaca Informasi yang Tersedia. :)